
Exclimation
Gaungkan Darurat Iklim,
Jaga Harapan Bumi di Masa Depan
“Bayangkan ketika misalnya rumah tempat kalian tinggal itu tidak ada lagi. Tanah tempat orang tua kalian dilahirkan itu tidak ada lagi. Kemudian, tempat nenek moyang kalian mulai hidup kemudian kalian mulai bekerja, menghasilkan uang, berusaha untuk hidup itu udah gak ada lagi. Dan itu terjadi gak di masa depan, gak 10 tahun lagi. Tapi sekarang,” ujar Asia Digital Manager 350.org, Toni Herlambang.
Teaser Article (Anasthasia Yuliana/Exclimation)
Skenario terburuk dari krisis iklim di masa depan bukan hal yang mustahil. Mengutip dari BBC.com, faktanya, laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengungkap bahwa suhu permukaan global lebih tinggi 1,09 derajat celcius dalam sepuluh tahun antara 2011-2020 dibandingkan 1850-1900. Suhu terpanas pun dirasakan dalam lima tahun terakhir sejak 1850. Kemudian, berdasarkan laporan tahunan “State of The Climate in ASIA” Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), suhu di Benua Asia meningkat 1,39 derajat celcius apabila dibandingkan dengan periode 1991-2010.

Kebakaran hutan di Tasmania, Australia (Matt Palmer/Unsplash)
Sementara di Indonesia, menurut Deputi Klimatologi BMKG, Herizal, yang dikutip dari Kompas.com, memprediksi adanya kenaikan suhu udara di Indonesia sebesar 0,9 derajat Celcius dalam 30 tahun ke depan. Tertulis dalam artikel yang sama, kenaikan suhu terjadi akibat peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK), terutama konsentrasi karbon dioksida (COâ‚‚). Pada awal tahun 2021, konsentrasi gas COâ‚‚ di Indonesia mencapai 411.1 ppm.

Ilustrasi proses terjadinya Efek Rumah Kaca (Aurelia Felicia, Zahrah Pricila/Exclimation)
Mengutip WMO, gas rumah kaca alami yang dimiliki bumi terdiri dari uap air (Hâ‚‚O), karbon dioksida (COâ‚‚), metana (CHâ‚„), dan dinitrogen oksida (Nâ‚‚O) di atmosfer. Gas-gas tersebut membiarkan radiasi matahari mencapai permukaan bumi untuk menjaga suhu bumi tetap hangat. Gas rumah kaca ini sangat diperlukan agar bumi layak dihuni. Apabila tidak ada gas rumah kaca, suhu bumi akan menjadi 33 derajat lebih dingin.
Sebuah gerakan lingkungan yang bernama Natural Resources Defense Council (NRDC) mencatat bahwa selama 800.000 tahun terakhir, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer adalah sekitar 200 dan 280 bagian per juta (ppm). Satuan tersebut mengartikan bahwa terdapat 200 hingga 280 molekul gas per satu juta molekul udara. Namun, konsentrasi tersebut telah melonjak menjadi lebih dari 400 ppm akibat aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan.
​
Asia Digital Manager 350.org, Toni Herlambang menyebut bahwa kadar COâ‚‚ di bumi saat ini telah mencapai 420 ppm, melebih batas amannya, yaitu 350 ppm sehingga tak lagi nyaman untuk ditinggali karena berpengaruh pada peningkatan suhu.
​
“Kadar COâ‚‚ itu sebenarnya menentukan apakah bumi itu layak ditinggali atau nggak. Apakah bumi itu bisa ditempati manusia dan makhluk-makhluk hidup lain apa nggak. Angka amannya adalah 350 ppm,” jelas Toni.
Grafik kadar konsentrasi karbon dioksida di dunia periode 2010-2020 (Gabriella Amanda/Exclimation)
Berdasarkan data 2 Degrees Institute, sejak 10 tahun terakhir (2010-2020) kadar COâ‚‚ secara global masih melebihi batas aman untuk kehidupan manusia (350 ppm), yaitu di angka 400 ppm.
​
Alhasil, suhu bumi semakin meningkat. Peningkatan ini tentu sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia karena kita hanya memiliki satu bumi. Apabila bumi yang kita tinggali sakit, kita, manusia, yang menumpang di dalamnya tidak dapat hidup dengan nyaman.
​
Toni memaparkan bahwa peningkatan suhu bumi yang menyebabkan krisis iklim dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan transportasi.
​
“Jadi kalo dibilang yang pertama itu dari energi (fossil fuel), yang kedua dari sektor hutan (deforestasi), dan ketiga sektor transportasi,” ujar Toni.
​
Bahan bakar fosil merupakan bahan bakar yang tak terbarukan seperti batu bara dan minyak bumi. Pembakaran tersebut digunakan untuk mencukupi berbagai kebutuhan utama manusia, salah satunya listrik. Toni menjelaskan bahwa penggunaan listrik di Indonesia sebagian besar dihasilkan oleh batu bara.
​
Sumber utama listrik di Indonesia berasal dari pembakaran batu bara yang menghasilkan uap untuk digunakan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Selain menghasilkan energi, pembakaran batu bara juga melepaskan berbagai macam gas seperti karbon dioksida (COâ‚‚), nitrogen oksida (NOâ‚‚), dan sulfur dioksida (SOâ‚‚) yang menyebabkan pencemaran udara.
​
Endcoal.org, salah satu organisasi pendukung lingkungan dalam laporannya yang bertajuk “Climate Change” mengungkap bahwa pembakaran batu bara merupakan kontributor tunggal terbesar terhadap perubahan iklim. Pembakaran batu bara menyumbang 46% emisi karbon dioksida di seluruh dunia dan 72% dari total emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor listrik.
​
Kemudian, berdasarkan data emisi tambang batu bara tahun 2021 yang dirilis oleh Global Energy Monitor, Indonesia menempati posisi kelima dunia yang menghasilkan 814 juta ton COâ‚‚ dari hasil pembakaran pada tambang yang beroperasi. Sayangnya, pertambangan ini justru didukung pemerintah lewat subsidi.
​
Melansir laporan Climate Policy Initiative (CPI), Indonesia sampai saat ini masih mensubsidi bahan bakar fosil seperti diesel, kerosene, LPG, dan listrik dengan tenaga batu bara. Masih dalam laporan yang sama, sejak 2015 hingga 2020 subsidi bahan bakar fosil rata-rata tetap berada di 9% dari total anggaran negara. Sementara pengeluaran untuk aksi iklim rata-rata hanya 6% dari total anggaran negara sejak 2016 sampai 2020.
​
Tak hanya dari pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi juga turut berpengaruh pada peningkatan suhu bumi. Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Madani pada April 2021 dengan judul “Mengupas Fakta di balik deforestasi Indonesia 2019-2020”, deforestasi merupakan perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori nonhutan (tidak berhutan).

Kehancuran hutan di Kalimantan Tengah akibat pertambangan (Aulia Erlangga/CIFOR)
Sementara itu, berdasarkan data hasil pemantauan yang dilakukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Tahun 2020 menunjukkan bahwa deforestasi netto tahun 2019 -2020 baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Indonesia sebesar 115,5 ribu hektar dari total hutan Indonesia seluas 95,6 juta hektar. Deforestasi inilah yang memicu terjadinya kebakaran hutan.
​
Rekapitulasi Luas Kebakaran Hutan dan Lahan Per Provinsi Di Indonesia mengungkap bahwa pada 2021 luas hutan yang terbakar mencapai 229.978 hektar. Asap dari kebakaran tersebut mengandung karbon dioksida yang berkontribusi pada krisis iklim.
Selain itu, krisis iklim juga dipengaruhi oleh penggunaan transportasi masyarakat. Toni memaparkan bahwa pembakaran bensin, diesel, dari mobil, kendaraan umum, dan sebagainya juga melepaskan COâ‚‚ yang berbahaya untuk iklim.
​
Selain ketiga faktor utama tersebut, penyumbang emisi terbesar di bumi juga berasal dari industri produsen bahan bakar fosil. Berdasarkan laporan Carbon Majors Report 2017, hanya 100 perusahaan penghasil bahan bakar fosil di dunia yang menjadi sumber lebih dari 71% emisi gas rumah kaca dunia sejak 1988.

Penduduk Kabupaten Demak menunggu perahu rakit untuk menyeberang ke jalan utama yang tenggelam akibat kenaikan air laut (Aji Styawan/Getty Images)
Dampak krisis iklim terlihat nyata lewat frekuensi bencana alam yang terus meningkat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam artikel yang bertajuk “Perubahan Iklim dalam Kebijakan tentang Bencana,” menyebut bahwa frekuensi terjadinya bencana alam kini sudah mencapai tingkat yang mencemaskan.
​
Hal tersebut juga ditekankan Toni bahwa bencana alam merupakan salah satu tanda terjadinya perubahan iklim.
​
“Jadi salah satu ciri krisis iklim adalah terjadinya badai, terjadinya typhoon, terjadinya bencana alam yang makin terjadi karena tidak adanya lagi keseimbangan di atmosfer bumi. Kadang musim panas jadi musim hujan, musim hujan jadi musim panas, jadi sering tercipta badai-badai, siklon-siklon tambahan,” ujarnya.
Peta Kejadian Bencana Alam di Indonesia Tahun 2021
Periode Januari - Oktober 2021
Jumlah bencana alam di 34 provinsi Indonesia periode Januari-Oktober 2021 (Amanda Rizqiya/Exclimation)
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 1.758 kejadian bencana alam sejak Januari hingga Oktober 2021. Selama periode tersebut, bencana yang paling sering terjadi adalah banjir sebanyak 650 kejadian dan puting beliung sebanyak 490 kejadian. Di antara 34 provinsi di Indonesia, Jawa Barat terdampak bencana alam terbanyak hingga 525 kejadian.
​
Toni Herlambang menyampaikan bahwa manusia hanya memiliki waktu 10 tahun untuk mengatasi isu krisis iklim apabila merujuk pada IPCC.
​
“Makanya banyak sekali komitmen-komitmen iklim itu dicantolkan pada tahun 2030 karena tahun 2030 adalah tahun di mana kita punya batas terakhir supaya gak terjadi yang namanya tipping point. Tipping point adalah keadaan ketika suhu bumi itu naik begitu tinggi, begitu drastis sehingga dampak kerusakan itu begitu parah dan nggak bisa dihentikan,” jelasnya.
​
Namun, prediksi buruk tidak harus selalu berujung buruk. Terdapat berbagai cara untuk menanggulangi skenario terburuk dampak krisis iklim apabila bertindak saat ini juga. Tiap-tiap pemerintah, industri, dan individu memiliki keterlibatan yang penting untuk mengatasi isu ini.
​
Hal tersebut dielaborasi oleh Decmonth selaku Outreach Extension Rebellion Indonesia bahwa dari segi peran pemerintah, seharusnya pemerintah menghentikan pemberian insentif terhadap perusahaan energi batu bara.
​
“Jadi Indonesia itu lebih banyak ngeluarin uang untuk batu bara daripada untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Jadi intensifnya lebih banyak untuk batu bara. Nah, solusinya harusnya ketika 60 persennya itu batu bara, harusnya 50 persen atau lebih dari 50 persen itu energi terbarukan ya sumber listriknya, contohnya solar (cahaya matahari), angin, aliran sungai, PLTB, harusnya dimanfaatkan gitu. Masalahnya Indonesia 60 persen ini masih batu bara,” jelas Decmonth.
​
Decmonth menyampaikan pula bagaimana persoalan insentif dan disentif ini berkaitan dengan solusi sederhana, tetapi harus dilakukan secara tegas oleh pemerintah agar industri beralih ke energi terbarukan.
​
“Jadi, ketika pemerintah masih banyak memberikan intensif, misalnya keringanan pajak atau kemudahan untuk memperpanjang izin usaha. Nah, selama itu juga orang tetap mau berusaha di bidang itu (batu bara dan energi tidak terbarukan). Sebenernya solusinya cukup gampang tapi harusnya berani gitu. Jadi kayak gimana caranya supaya kita ngebiayain PLTS aja uang APBN negara itu. Dari pada kita ngebiayain listrik,” ujarnya.
​
Kemudian, Decmonth menambahkan bahwa peran individu untuk bertindak dan menyuarakan aspirasi menjadi solusi yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis iklim. Hal tersebut dapat berawal dari cita-cita terhadap masa depan yang rendah emisi karbon dan mulai menerapkan pola kehidupan yang lebih berkelanjutan.
​
“Nah itu, kalo dari sisi pribadi ya menggunakan transportasi umum atau sepeda dalam sehari-hari. Kalo itu pun susah apalagi Jakarta, paling nggak gini, penggunaan listrik di rumah, ketika temen-temen mampu, kategori keluarga mampu gitu ya, kalo bisa pake PLTS. Seenggaknya kalau listriknya udah gak dipake lagi ya dimatiin,” ucapnya.

5 fakta penting terkait krisis iklim yang berdampak terhadap lingkungan sekitar (Celine Night/Exclimation)
Penulis: Zahrah Pricila & Aurelia Felicia
Penyunting: Afifah Nur A.
About Us

Afifah Nur Andini
Editor of Exclimation

Zahrah Pricila F. A.
Writer of Exclimation

Aurelia Felicia B.
Writer of Exclimation

Gabriella Amanda
Data Visualization of Exclimation

Amanda Rizqiya Y.
Data Visualization of Exclimation

Celine Night
Multimedia Journalist of Exclimation

Anasthasia Yuliana W.
Multimedia Journalist of Exclimation